Friday, August 27, 2010

" kami melaluinya dan kami mengalaminya" #2

cerita ini tentang harapan seorang manusia akan hidup putrinya yang terenggut karena konsep pernikahan yang mengharuskan setiap pasangan memiliki anak, yang di-amini oleh sistem yang ada di masyarakat, yang terus dilanggengkan dan dijadikan sebagai alat kuasa untuk menentukan hidup seseorang.

cerita #2

”satu harap dari kebon tebu”

"Sugeng siang mas", sapaku saat kawanku yang satu ini menyambutku di ruang tamunya.
Satu siang di awal tahun 2010, aku mendatanginya untuk mencari informasi tentang tanah yang akan dijual.

Dia kawanku sejak aku masih membantu bapakku menjadi tukang batu. Pilihannya untuk berbisnis jual beli tanah, membawanya pada nasib yang berbeda. Sekarang, aku memanggilnya tuan tanah.
Beberapa tahun lampau, dia adalah tukang bapakku yang biasa menjadi tukang batu untuk pembuatan rumah yang diborong bapakku. Dan aku, beberapa tahun yang lalu juga menjadi buruh tukang batu atau lebih dikenal dengan istilah ”Lettu” (Laden Tukang),hehehe.

Aku beberapa kali menjadi ladennya pada saat masih ikut ”nguli” bapakku. Dia adalah salah seorang yang mengagumi keteguhan bapakku, seorang buruh tukang batu yang bermimpi untuk menyekolahkan anaknya hingga jadi ”insinyur”, dan berhasil mewujudkannya. Di sela-sela tumpukan batu bata, dia sering mengatakan bahwa ingin sekali rasanya mendampingi wisuda anaknya. Sama sepertiku, masih bermimpi untuk mengenakan Toga, suatu hari nanti.Hampir 5 tahun terlewat, saat aku bertandang ke rumahnya, suasananya sudah berubah. Kami sama-sama sudah tidak lagi bergulat dengan pasir dan semen. Dian sudah menjadi juragan tanah dan aku masih tetap menjadi ”juragan mimpi”, entah itu cita-cita, dunia zero violence atau mimpi buruk tentang kegagalanku mengembara liar di alam yang katanya fanaini. Meskipun begitu, aku selalu merindukan dunia glidhig, kesahajaan kawula alit yang mendapatkan uang benar-benar dari keringatnya, kesedarhanaan dalam memaknai hidup, penuh nilai-nilai relijiusitas meskipun tidak setiap menit harus bersujud.

”Kami yakin bahwa sang penguasa itu sudah menggariskan hitam putih seorang manusia, namun tidak mengingkari bahwa setiap orang mampu menggoreskan merah atau biru di garis hitam putih itu”
Kalimat yang slalu kuingat dari dulu, ”Mas gama, saiki wis gedhe tenan, ngalahke mas Alfa gedhene”, terucap lagi. ”Pripun kabare? Kok enggal-enggal mriki, rak boten onten punopo2 tho? Bapak ibu sae?” sambutnya masih berdiri di depan pintu.

”Alhamdulillah sae mas. Puniko namun dolan kok. Badhe pados informasi siti,menawi onten ingkang mirah kalian sreg wonten ati”, jawabku segera.Perbincangan kami sampai juga pada kesepakatan untuk menengok tanah di tengah-tengah persawahan di desa sebelah.

...

”Pripun putrane mas? Pun wisuda dereng?” tanyaku disela-sela perjalanan menuju sawah.
”Wah,malah rodo mutung jhe mas gama, pun semester 8 malah jalukleren. Stress kulo.” jawabnya.
”Ingkang bajenng? Punopo taksih kerjo wonten Rokok sampoerna?” tanyaku lagi.

”Taksih mas, sak puniko malah asring leren ten ngomah.” ujarnya sambil menatap jauh hamparan kebun tebu.

“Wah, sampun bebrayan 5 tahun ning dereng Bathi jhe mas Gama. Kolo wingi malah kengeng alangan. Tekor 25 juta. Dereng rejekinipun” lanjutnya.

“Kok saget tekor mas?” tanyaku memastikan aku tidak salah dengar.

“Anu e dik gama,...”, sejenak dia menghentikan jawabannya.

“Panjenengan semingu kolowingi punopo maos KR? Anak kulo dados salah setunggalipun korban. Ning boten purun diwawancarai wartawan”, jawabnya sambil menatapku, mencoba mengadu. Binar matanya mencoba meyakinkan bahwa anaknya adalah korban. Jika tidak ingat aku ada di sana, mungkin air matanya turut meyakinkan kepedihan itu.

“Kulo moco mas, namung ingkang pundi?” tanyaku setelah beberapa saat,mncoba memberinya waktu untuk bernafas.

“Ingkang penipuan perempuan ingkang pingin gadah momongan puniko lho. Ingkang sak puniko pun ten Polres Bantul. Anak kulo kan dados salah setunggalipun korban, mesakke tenan. Sak puniko keweden, kolowingi boten wantun wangsul. Taksih alhamdulillah boten telas kathah”, ujarnya yang diakhiri dengan nafas panjang.

“Kok saget mas? Punopo bitencerito sak derenge?” tanyaku mencoba menggali permasalahan.

“Boten mas, kulongertose nggih pun kebacut jhe”... “mbok bilih dereng rejekinipun” terusnya.

“Pelakunipun puniko pinter menjerat korban mas. Anak kulo nggih boten ngertos menawi priyayi puniko badhe ngapusi, lha wong ingkang kengeng (jadi korban) kathah. Mbok bilih puluhan mas. Setunggal tiyang onten ingkang kengeng 30 juta mas. Nek anak kulo kengeng 15an juta. Alhamdulillah boten tambah mas, saget ketututan.”

“Kok saget mas?”

“Pelakunipun pinter milih korban. Piyambake stan by wonten klinik-klinik bersalin kalian dokter praktek. Kadang wonten rumah sakit ageng, PKU Bantul kalian RSUD Bantul. Menawi onten pasangan ingkang dereng kasil gadah momongan,biasanipun dicedhaki, diajak ngobrol kalian diiming-imingi program alternatif memiliki momongan. Sinten mas ingkang purun nolak rejeki. Anak, momongan kan rejeki. Anak kulo purun, tumut program. Pun sak wetawis kok malah jebule buntung”, ujarnya dengan nada merendah.

“Keconanganipun pripun mas?” tanyaku meminta penjelasan.

“Kan onten ingkan dangu nderek programipun, ndelalah padaranipun ageng.pas dipun check kok sanes “mbobot”, jebul padaranipun gedhe boten onten isinipun mas. Terus korbanipun lapor polisi. Bar lapor kok korban sanesipun sami jedul sedanten. Jebule pun gadah korban ten pundi-pundi. Mugi-mugi kapok mas”, ...

“Badhe lapor boen mas, putranipun panjenengan?” tanyaku memastikan nasib hukum putrinya.

“Boten mas, punlego pelakunipun kecekel. Anakkulopun dadi korban. Mangke menawi tonggo tepalih ngertos, malah tambah parah mas. Mesakke bocahe.”

“Alhamdulillah sak puniko pun boten natenagis dalu-dalu maleh mas”... “Mas gama Pripun? Putranipun pinten?” tanyanya mencoba menghentikan perbincangan ini.

“Alhamdulillah setunggal mas, putri kulo pun 6 bulan, sehat mas.” Jawabku segera.

Aku kemudian bercerita bagaimana aku dan istriku juga ketakutan luar biasa. Diskusi-diskusi tentang konstruksi seksualitas, gender dan konsep pernikahan, tidak juga membuat rasa takutku hilang begitu saja. Aku masih hidup di dunia patriarkhis, dunia dogma, dunia entah.
Seperti merasa esok tidak kan pernah berjumpa dengan mentari.

aku mengatakan padanya, "kulo nggih gadah masalah ingkang sami, ning pun lewat mas, kantun belajar urip,belajar bab engkang sanesipun".
aku kemudian bercerita tentang puluhanbahkan mungkin pasnagan yang mengalami hal yang sama dan belummelaluinya karena keterbatasan informasi.
aku bercerita tentang TORCH dan diamenanyakan di mana klinik tersebut bisa diakses. segera,dia meminta alamat tersebut dan memberitahukan kepada anaknya.

satu harap dari kebon tebu

Untuk semua perempuan yang sedang berjuang melawan “TORCH”,jangan pernah menyerah.

Kami mengalaminya dan kami melaluinya

No comments:

Post a Comment