Thursday, December 23, 2010

Rum Raisin Chocolate Ice Cream


Jingga warna langit sore itu. Sinar-sinar mentari tampak asyik bergelut senja. Sebagian dirinya telah tenggelam dibalik bukit yang menjulang tinggi di depanku.  Dan kini tinggallah sisa-sisa mega dengan semburat oranyenya menghiasi langit. Tapi sebentar lagi, panorama itu pun akan lenyap seperti induknya. Dan langit pun akan segera menghitam dengan aksen ratusan bintang yang menari-nari riang diantaranya. Semoga saja aku bisa melihatnya, semoga mendung tak menghalangi sinar-sinar itu nanti malam.
Pukul 5.oo tepat, saat aku melihat itu semua. Memperhatikan dalam beberapa saat keadaan langit sore itu. Indah sekali. Aku pun memutuskan berhenti sejenak di sebuah taman. Memarkir sepedaku di sebelah barat taman, membiarkannya bersandar pada pohon kamboja yang mulai meranggas. Aku melirik kursi taman panjang yang teronggok di depanku. Kursi itu kosong, dan aku bergegas menuju ke arahnya dan mendudukinya. Kuhela nafas panjang. Pikiranku beralih pada semuanya yang telah terjadi dalam hidupku. Belia. Mereka biasa memanggilku. Ya, memang itulah namaku. Sesuai dengan namaku itu, aku memang masih belia. Usiaku baru saja memasuki kepala dua, 20 tahun.  Seharusnya diusiaku yang terbilang muda ini aku menikmati masa mudaku, bermain di mall, berpetualang bersama teman-teman sebayaku, menikmati masa-masa indahnya pacaran, kuliah dan menerima semua fasilitas yang orang tuaku berikan untuk membuatku bahagia. Namun demua itu tak terjadi padaku. Sungguh kenyataan yang menyakitkan bahwa aku  tak pernah sekalipun merasakan apa yang seharusnya aku rasakan. Bagiku, semua itu hanyalah mitos, cerita dan dongeng-dongeng khayalan yang mereka ceritakan kepadaku untuk membuatku senang. Itu semua hanyalah mimpi untukku. Mimpi yang indah, dan mungkin kata “kebahagiaan” untukku termasuk didalamnya. Dan aku tak tahu, kapan kata itu menjadi kenyataaan. Dua pertanyaan yang sangat menganjal dibenakku tentang kata itu : akankah ? dan kapan ?
Kupandangi taman di sekitarku yang saat itu sangat sepi. Entah kemana orang-orang hingga tak seorangpun ada di sana. Menikmati indahnya matahari tenggelam dengan segala kehangatan sinar yang dipancarkannya. Mungkin mereka yang lain sedang menikmatinya juga, tapi tak di taman ini. Mungkin di suatu tempat yang sangat indah di sana dan sangat elit, mahal dan privat. Tak seperti di taman ini, ya mungkin saja. Sepertinya aku salah berada di lingkunganku sekarang. Tumbuh dan berkembang di antara anak-anak dengan segala keglamorannya, dengan segala fasilitas financial yang sangat mewah. Ya, aku sadar. Aku tak seperti mereka, aku hanyalah anak dari sebuah keluarga sederhana di pinggiran kota Jogja. Ayahku telah meninggal saat usiaku 10 tahun, dan kini tinggallah aku dengan ibuku. Ibuku hanyalah seorang penjahit pakaian kecil-kecilan. Ya, seberapalah gaji seorang penjahit saat ini. Aku sadar betul akan hal itu. Walaupun demikian, ibuku berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi kami. Kadang, dia bekerja hingga larut malam dan itu selalu membuatnya jarinya tertusuk jarum saat hendak menjahit. Jujur, aku tak tega melihatnya. Ingin sekali rasanya aku memeluknya satiap malam, berharap ada hal yang bias aku kerjakan untuk meringankan beban ibuku. Tetapi ibuku selalu saja menolak setiap kali aku ingin membantunya, dia tidak ingin aku tidur terlalu larut hanya karena membantunya menjahit. Sungguh, aku sangat bangga padamu ibu. Tapi  kini, aku bukan anak kecil lagi. Kini saatnya aku membantu ibuku. Meringankan bebannya karena aku tahu dia sudah tak muda lagi. Tadi pagi saat aku berpamitan untuk pergi kuliah, kucium tangannya. Aku merasakan keriput di tangannya  bertambah banyak dari sebelumnya, dan uban pun mulai menghiasi rambutnya yang sedikit ikal. Tenaganya pun sudah tak sekuat dulu. Dan itulah yang menggerakkan aku untuk memulai pekerjaanku hari ini. Ya, mulai sekarang, mulai hari ini, aku resmi bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman. Jam kerjaku tak begitu lama, dari jam 2 siang sampai maghrib. Aku hanya part time di sini  karena aku harus menyelesaikan kuliahku. Aku tak ingin menyia-nyiakan yang satu ini. Karena aku yakin, aku akan sukses suatu saat nanti.
Langit di atasku mulai menghitam. Semburat mega yang sedari tadi setia menemani pun kini telah memudar. Kulihat jam yang melingkat ditanganku. Sudah pukul 6.30 rupanya. Pantas saja langit telah menghitam. Tak terasa sudah cukup lama aku terdiam di sini..
***
Disinilah aku sekarang. Berdiri di depan meja kafe  d’teroulty  untuk melayani pembeli. Hmm… rupanya saat ini kafe tak begitu ramai. Pandangan kulempar lurus kearah pintu masuk kafe. Celingukan mencari sosok-sosok pengunjung yang hendak datang. Namun tak ada, tak satupun. Aku menarik kursi dibelakangku dan mulai duduk sembari membaca majalah untuk menghilangkan rasa bosan.
“Menu biasa satu ya!“ Terdengar suara itu mengagetkanku. Aku segera berdiri dan berusaha menemukan darimana asal suara itu.
“Maaf Mas, mau pesan apa ?” tanyaku sekali lagi kepadanya. Aku memperhatikan pelangganku ini. Seorang lelaki, berkulit sawo matang dengan rambut ikal. Hidungnya mancung dan dagunya terbelah. Tampan sekali. Beberapa detik ia membuatku terpaku Dan beberapa detik pula tak ada pembicaraan.
“Mau pesan apa, Mas ?” tanyaku sekali lagi karena dia tak kunjung menjawab pertanyaanku . Dan kini, perhatiannya beralih kepadaku. Mungkin suaraku tadi terdengar sedikit meninggi hingga membuatnya kaget.
“Menu biasa satu ya, Mbak . Nanti diantar di meja nomer 7!” lanjutnya. Senyumnya merekah diakhir kalimat itu. Senyum yang sangat indah, dari seorang pria yang sangat tampan. Aku tak tahu perasaan apa ini, yang jelas aku seperti mimpi saat itu. Seandainya saja aku bisa menghentikan waktu..
Dia berjalan lurus menuju ke meja nomer 7. Duduk manis di sana, di meja yang terletak di sudut barat kafe ini. Dia terlihat hanya seorang diri. Dan kali ini senyum merekah pada bibirku, mungkin ini sebuah pertanda baik. Semoga saja. Dia terlihat sedang sibuk dengan map-mapnya tadi. Mengeluarkan kertas-kertas didalamnya, kemudian dengan saksama mulai menulisi kertas-kertas itu. Entah apa aku tak tahu.
Beberapa menit kemudian aku terdasar,  aku tak tau apa yang sesungguhnya dia pesan . aku terlalu sibuk memperhtikannya tadi.  Bodohnya !
Aku mendatangi meja nomer 7 itu dengan sedikit perasaan malu. Aku tak tahu harus aku taruh  mana mukaku ini. Tapi bagaimanapun juga, aku harus melakukan ini.
“Maaf Mas, tadi pesan apa ya ?” tanyaku dengan sedikit cengegesan. Aku tak tahu ekspresi apa yang seharusnya aku tampilkan saat itu “ Tadi Masnya bilang menu biasa, tapi saya nggak tahu apa maksud Masnya itu”
“Hahaha…” dia menghentikan kegiatannya menulisi kertas-kertas itu, dan perhatiannya kini seratus persen kepadaku. Dan dia mentertawakanku, malu sekali rasanya “ Rum raisin chocolate ice creamnya, satu ya, Mbak “
“Hehehe… maaf ya Mas, saya baru di sini. Jadi masih butuh waktu untuk menghafal menu biasa semua pelanggan di sini. Sekali lagi maaf ya Mas.” Lanjutku ramah.
“Oh pegawai baru ya Mbak. Nggak apa-apa kok, nanti juga lama-kelamaan pasti biasa juga.” lanjutnya.
Syukurlah dia baik hati, dan tidak ingin memperpanjang masalah. How perfect that man is ! Gumamku dalam hati sembari meninggalkan meja itu untuk segera membuatkan pesanan mas ganteng itu, ya mas ganteng mungkin cocok untuk dia. Selain karena aku tak tahu namanya, wajahnya juga ganteng sih.
Jadi, ini yang namanya rum raisin chocolate ice cream! Gumamku dalam hati, sesaat aku melihat semangkuk ice cream coklat dengan kismis bertaburan diatasnya  dan sebuah waffle tegak berdiri di bagian atas ice cream itu teronggok didepanku. Aku tak pernah melihat seperti ini sebelumnya. Maklum sajalah, aku tak pernah makan makanan semahal ini, makan daging aja bisa dihitung cukup dengan satu tangan saja.
Segera kuantarkan ice cream itu ke meja no 7. Tak banyak berubah, dia masih juga sibuk dengan kertas-kertas itu. Dia tak menyadari kehadiranku, bahkan saat aku menaruh ice cream  di meja berangka 7 itu.
“Ini mas ice creamnya, silahkan di makan!” sapaku untuk memulai pembicaraan dengannya.
“Iya, makasi Mbak Belia “ sahutnya. Aku terkaget. Dia memanggilku Belia. Dari mana dia tahu ? Aku terpaku sesaat karena bingung apa yang sebenarnya terjadi..
“Belia ? Dari mana Masnya tahu nama saya ?” lanjutku spontan. Aku hanya ingin tahu dari mana dia tahu namaku. Itu saja
“ Itu…” dia mennujuk sesuatu di atas saku sebelah kananku. Aku mengikuti arah jari-jari itu. Dan di sanalah aku mendapat jawabannya. Dia tahu namaku dari bordiran nama yang ada di atas sakuku. Belia Odilia Rahman. Tertulis sangat jelas, dan besar. Betapa bodohnya aku saat itu.
“ Hehehe…” aku tak sanggup berkata-kata lagi. Hanya sebuah senyuman malu yang aku lemparkan. Mungkin saat ini harga diriku telah jatuh terinjak-injak dimata lelaki itu. huft…. Aku menarik nafas panjang. “ Ada yang mau dipesan lagi Mas… ?” tanyaku. Dengan tanda titik-titik di akhir kalimat karena aku tak tahu siapa namanya. Sepertinya intonasi kalimatku tadi terdengar sangat menggantung dibagian akhir karena aku tak bisa menyelesaikannya.
“Adit “ lanjutnya. Dia mengacungkan tangannya kepadaku seraya mengajak berkenalan.. Segera kuraih tangan itu dengan raut wajah sangat-sangat bahagia. Akhirnya, aku tau siapa dia. Gumamku dalam hati. Senang sekali rasanya. Tanpa sadar  beberapa kali senyuman merekah di bibirku. Semoga saja dia tak tahu itu.
“ Sendirian aja Mas ?”  sapaku, setelah beberapa saat yang lalu aku berhasil menjabat tangannya. Dari tadi aku melihat dia hanya sendirian di sini, tapi entahlah. Barangkali dia sedang menunggu seseorang, atau sekedar janjian dengan pacarnya mungkin. Semoga saja tidak, Do’aku dalam hati.
“  Aku janjian sama orang . Itu dia datang …!” lanjutnya seraya menunjuk pintu masuk kafe . Aku mengikuti arah telunjuknya , dan tepat di sana ada seorang wanita cantik tengah berdiri di depan pintu. Celingukan mencari sesuatu, dan aku yakin pasti yang dicarinya adalah Adit. Wanita itu sangat cantik, rambutnya panjang ikal bergelombang, Tubuhnya tinggi dibalut dengan dress bermotif kupu-kupu sepanjang lutut. Dan dari sini aku dengan jelas dapat melihat matanya yang bersinar abu-abu akibat soflense yang di pakainya. Satu kata saja sebenarnya cukup untuk mendeskripsikan wanita itu:  sempurna !
Aku segera meninggalkan meja nomer 7 itu dengan perasaan hancur. Sepertinya baru beberapa menit yang lalu perasaanku berbunga-bunga karena berhasil mengetahui namanya, Adit. Dan sekarang semuanya telah hancur berkeping-keping dan tak dapat lagi disatukan. Yah, mungkin aku yang begitu bodoh karena mengharapkannya. Berkenalan dengannya mungkin itu bagaikan mukjizat bagiku. Jadi, jangan mengharap lebih deh bel ! hatiku meronta .
***
Hari ini, tepat sebulan  aku bekerja di sini. Aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkunganku saat ini. Ini tidak begitu buruk. Pekerjaanku di sini tidaklah begitu berat, dan jam terbangnya pun tak lama. Maklum, kan statusku di sini hanyalah partime. Dan sebulan yang lalu, adalah hari dimana aku berkenalan dengan Adit. Lelaki yang sangat sempurna, bahkan hampir aku tak bisa menemukan celah pada sosoknya. Walaupun baru sebulan, aku mendapat banyak pelajaran hidup darinya. Dia sungguh tahu bagaimana memperlakukan wanita,  dia selalu menghargai orang lain, tak peduli siapa pun mereka. Sungguh, aku senang sekali dapat megenalnya. Dan yang aku sedihkan, sebentar lagi dia akan pergi ke Belanda untuk meneruskan studinya di sana. Aku ingin lebih lama bersamanya di sini, walaupun aku tahu dia bukan milikku. Dia satu-satunya temanku di sini. Meskipun aku tahu,  aku tak berarti baginya.  Aku sadar, aku tak bisa membohongi perasaanku padanya. Sekuat apa pun aku berusaha membuang jauh-jauh perasaan itu, mencoba menguburnya dalam-dalam dalam hatiku, semakin perasaan itu memancar dalam hatiku. Ya aku tahu, aku cinta Adit. Tapi sepertinya itu tak berlaku sebaliknya. Apakah aku salah pernah merasakan ini semua ?
Perlahan aku duduk di meja nomer 7 di kafe itu, meja tempat Adit biasa menghabiskan waktunya di kafe ini, dengan mengobrol denganku tentang cita-citanya menjadi pelukis ternama, tentang cita-citaku menjadi seorang dokter, tentang semuanya yang menurut kami pantas untuk diceritakan, menggambar sket wajah beberapa orang, dan aku masih ingat saat dia menggambar wajahku saat itu, dan jujur sampai sekarang aku selalu menyimpannya. Aku tak ingin kehilangan gambar itu, dan tentunya orang yang menggambar itu.
Aku menatap sekeliling. Sudah sekitar seminggu meja ini kosong, yah ini adalah hari ketujuh Adit tak datang ke kafe ini. Ada apa ? Mengapa dia tak pernah datang lagi ? Apa yang terjadi dengannya ? Apakah dia sudah berangkat ke Belanda? Mengapa dia tidak pamit kepadaku ? semua pertanyaan itu seketika menghujami pikiranku, merasuki otakku, seakan aku menyunggi sebuah tanda tanya besar di atas kepalaku. aku tak bisa menjawabnya. Hari itu, waktu terasa berjalan sangat lambat. Tak ada semangat hidup, tak ada gairah, tak ada Adit. Aku tak tahu mengapa diriku benar-benar hancur  seperti ini, kehilangan semangat. Aku tak tahu ternyata Adit sangatlah berarti bagiku. Dan sekarang disaat aku harus menghadapi kenyataan kalau dia hanyalah sepenggal cerita indah dalam hidupku, aku merasa sangat hancur. Tapi aku tak pernah menyesali ini semua, lebih baik aku bahagia kemudian hancur daripada aku belum pernah merasa bahagia sama sekali. Terima kasih Adit.
Langit kembali menjingga sore ini. Pukul 5.00 tepat saat aku melihat jam yang tergantung di sudut barat kafe.  Aku membereskan piring-piring yang berantakan di dapur, membersihkan meja-meja agar terlihat rapi, memastikan semuanya dalam keadaan baik. Dan kafe pun siap untuk tutup. Sinar-sinar matahari sore itu dengan  mudah masuk kedalam kafe melalui jendela-jendela besar gaya Eropa, dan kini semuanya tampak begitu terang karenanya. Pandanganku beralih ke pintu masuk kafe, ada seseorang di sana. Berdiri di depan pintu. Sepertinya dia pelanggan kafe ini. Aku tak bisa meihat wajahnya dengan jelas, siluet-siluet sinar itu menghalangi pandanganku, membuatku silau sehingga aku hanya bisa meihat banyangan hitam karena tubuhnya menghalangi sinar-sinar itu. Aku pun memutuskan untuk menghampirinya.
Perlahan kubuka pintu kafe itu. Berusaha mencari tahu siapa gerangan di depan sana. Aku tak percaya, siapa yang berdiri didepanku saat itu. Orang yang selama ini aku,cari, orang yang namanya selalu aku panggil dalam do’aku, kini telah berdiri di depanku. Dia tersenyum kearahku.
“ Adit…” sapaku. Aku bingung, aku tak tahu apa maksud semua ini. Ribuan pertanyaan menghujami pikiranku, tapi tak satu kata pun aku lontarkan. Semuanya terlalu memusingkan, dan hanya kata itulah yang mampu aku katakan. Adit
“ Belia….lihat ini !” dia menunjukkan sesuatu kepadaku. Sebuah surat, aku tak tahu apa itu. Segera kuraih surat itu dan kubaca dengan saksama. AMSTERDAM GK2003 DEPT. 08.00 p.m. baru sekilas aku membacanya, aku sudah tahu apa itu. Sebuah tiket pesawat tujuan Belanda, dan dia akan berangkat besok. Sebisa mungkin aku melempar senyum kearahnya, walaupun aku tahu hatiku menangis saat itu. Aku tak bisa menyembunyikannya, aku sedih, aku tak ingin kehilangannya, tapi aku juga tak mampu berbuat apa-apa.
“ Jadi kamu berangkat besok Dit ?” tanyaku kemudian. Aku sesungguhnya tak tahu apa yang mesti aku tanyakan, semuanya begitu sulit untuk dikatakan.
“ iya… aku senang sekali bisa mendapatkan beasiswa itu. Selama seminggu ini aku mati-matian berjuang untuk itu. Tiap hari harus tes inilah, itulah, tapi akhirnya aku berhasil. Senang sekali rasanya “ lanjutnya. Dari raut wajahnya, aku tahu dia sangat senang mendapatkan semua ini. Dan  sepertinya, tak sedikitpun terpancar kesedihan dari raut wajahnya, dia tidak sedih untuk meninggalkanku, padahal aku sangat sedih kehilangannya.
 “Aku kesini mau pamit sama kamu  kamu baik-baik ya disini . Aku yakin suatu saat nanti, saat kita bertemu lagi, aku pasti telah menggenggam dunia, dan aku meihatmu mengenskan jas putih itu dengan anggunnya dan mulai memeriksa pasien-pasienmu. Aku yakin itu saat itu pasti ada, dan tak lama lagi. Aku yakin.”  
Di luar, langit  mulai menghitam. Mega-mega yang sedari tadi setia menemani, kini telah musnah dan di gantikan oleh balutan hitam kelam diatas sana. Bintang-bintang rupanya tak rela membiarkan langit nampak begitu muram, mereka pun datang dan berhamburan di sana. Cantik sekali. Dan disinilah kami, masih berdiri di depan pintu kafe. Dan inilah untuk terakhir kalinya aku menatap orang didepanku ini. Dan aku membutuhkan sedikit waktu untuk meyakinkan diriku akan hal itu.
“Jangan menangis Belia…” Dia menghapus air mataku yang nampaknya mulai mengucur deras dan membasahi pipiku. “ Lihat itu ! Disana, ada dua bintang yang bersinar terang, yang satu namanya bintang Adit, yang satu namanya bintang Belia “Dia meraih tanganku. Mengarahkan telunjukku kearah bintang-bintang yang dimaksud. Aku menatap bintang-bintang itu dengan seksama meskipun aku tak tahu apa maksudnya. “ Aku nggak kemana-mana Belia, lihat ! Bintang Adit selalu bersama bintang Belia kapanpun. Jadi kamu nggak bakal kehilanganku. Dan setiap kali kamu butuh aku, tinggal lihat ke atas. Aku akan selalu di sana untuk menemanimu dan menjagamu Belia. Percayalah “ Dia berusaha meyakinkanku.
Tak dapat dipungkiri, kalimat-kalimatnya kali ini benar-benar berhasil menenangkan batinku. Aku yakin, dia selalu bersamaku, aku yakin dia selalu menjagaku, dan aku yakin saat-saat bersama ini akan segera terulang kembali . tak lama lagi. Aku yakin itu. aku tersenyum kearah Adit yang saat itu tengah memegang erat tanganku.  

Jarak terdekat di muka bumi ini bukanlah jarak antara nadi dan lehermu, tetapi jarak antara dua hati yang telah bersatu walaupun raga mereka terpisah ribuan mil jauhnya.
-MN-


untuk antologi cerpen 3 kota
PARANOIA
17 Desember 2010
Balai Bahasa Yogyakarta


No comments:

Post a Comment